Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya
Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya ini merupakan sambungan dari artikel sebelumnya dengan judul Mengenal Suku Dayak Pulau Kalimantan. Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya - Orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people) pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka ini adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini tidak ada lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990).
Secara harafiah, kata “Dayak” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990)
Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an (Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu, dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928) mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar yang disebutnya stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu; (2)Ot danum; (3)Iban; (4)murut; (5)kleamantan; dan (6)punan.
Lain halnya dengan W.Stohr (“Das Totenritual der Dajak”,dalam etnologia,Koln:1959) yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu (1)kenyah-kenyah-bahau, (2)Ot danum (Ot danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan); (3)Iban; (4)Murut (dusun,murut, kalabit ; (5) klemantan (klemantan,Dayak Darat ); dan(6) punan. Sedangkan Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).
Sellato (1989) mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu (1)orang melayu; (2)orang iban ; (3)kelompok baito(Ot-danum, siang, murung, luangan, ma’anyan, benuag, bentian, dan tunjung); (4)kelompok Barat; (5)kelompok timur laut; (6)kelompok Kenyan dan kenyah yang tinggal di Kalimantan timur dan pedalaman serawak; (7)kelompok utara tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan, seperti orang kelabit,lun Dayeh,lun bawang dan murut bukit, orang kajang, Berawang,dan melanau di sebelah barat Kalimantan. Dalam kelompok ini,hanya orang kelabit dan lun dayeh yang bersawah; dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di Kalimantan (Singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon dkk.,1996:356-363;sellato,1989). Klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan alasan-alasan (1)aliran sungai; (2)geografis,etnografis, dan budaya material; (3)bahasa yaitu bahasa austronesia, bahasa Filipina, bahasa melayu, bahasa di sulawesi selatan, dan bahasa madagaskar; (4)cara dan tempat penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).
Dalam teori antropologi dan hukum adat, metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas, telah di lakukan oleh beberapa ahli sejak lama. Misalnya,pertama-tama adalah van vollenhoven (1918)yang menciptakan konsep “daerah hukum adat”(recbtskring). Menurutnya, di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat, dan salah satunya adalah Kalimantan atau borneo. Kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area” .selanjutnya , J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963), Hildred Geesrtz (komunitas budaya),dan Koentjaraningrat (1971). Akhirnya, Ave (1970) yang memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan teknologi. Ketiganya disebut mode of production (Marzali,1997:141-147).
Rekonstruksi Kedatangan Nenek Moyang Salako
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat barangkali ada yang memasuki muara suangai Sambas dan Salako. Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim di kaki bukit Senujuh dikawasan sungai Sambas besar. Di kawasan ini sekitar tahun 1291 berdiri kerajaan Sambas (Ahmad dan Zaini, 1989) dengan rajanya tanpa bergelar Sultan dan rakyatnya masih menganut agama tradisional dan Hindu.
Menurut Simon Takdir (2007) Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukkan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayotn atau raro dengan ragam-ragan bahasa mereka yaitu bakati’ ba nyam, dan ba nyadu’. Para penutur dari ketiga ragam ini masih saling mengerti ketika mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing (mutual intelligibillity). Walaupun pembauran telah terjadi, ciri-ciri budaya dari keduanya masih tampak.misalnya, budaya Austronesia pada suku ini adalah menganyau, tinggal di batang, dan sebagainya. Budaya Austronesia masih tetap dominan karena adanya kontak budaya dengan kelompok Austronesia lainnya. Warisan Weddoide yang masih bertahan adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman suku Kanoyotn ini selalu di atas, atau di hulu pemukiman kelompok Austronesia, namun tidak begitu jauh letaknya. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Bagaimanapun juga suku ini masih keturunan dari Austronesia.
Selanjutnya Simon Takdir mengatakan bahwa Kelompok Austronesia yang lain yang jumlahnya lebih besar memasuki muara sungai Salako (Saako). Di Salako ini ada bukit yang namanya Sarinokng (bhs. Melayu: Selindung). Mereka memilih bukit Sarinokng dan Pulo Nangko sebagai tempat bermukim mereka. Pada waktu itu dibukit Sarinokng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang.. Sarinokng yang dulu berada di pantai kini berada jauh daripantai. Sarinokng ini selanjutnya disebut Salako Tuho (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Mudo’.
Nama Salako itu sendiri mungkin berasal dari Saak Ako. Konon disana dulu banyak anjing hutan yang besar yang disebut asu’ ako. Masyarakat sering mendengar salaknya baik siang maupun malam. Karena anjing hutan ini mengganggu kehidupan masyarakat, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Orang Austronesia ini tidak mau makan anjing.
Orang Austronesia menganggap anjing adalah binatang sial. Alam supernatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Kesempatan menjaditukang belian, pamarani atau orang sakti hilang jika yang bersangkutan makan daging binatang itu. Selain itu, arwah orang meninggal yang hendak menuju Subayotn harus melalui tujuh pararangan, yaitu titi bajoo, titi bagoro’, tajur manimang, padokng maabo (banyak anjing besar dan ganas), nangko rayo (puai’ elo), bea gamokng (pasar tempat orang berjudi, Subayotn (tempat jiwa orang baik yang sudah meninggal). Orang Austronesia ini percaya bahwa orang yang suka makan daging anjing jiwanya akan dikejar dan disiksa oleh anjing-anjing di Padokng Maabo ini. Karena itu ketika masih di dunia keturunan Dayak Saalko dilarang memakan daging anjing. Orang Salako yang memakan daging anjing sekarang ini telah mereka kontak dengan suku-suku indonesia lainnya seperti Cina, Batak, Ambon, Manado, Dayak Kanayatn dan sebagainya.
Kawasan anjing hutan yang biasa menyalak itu selanjutnya disebut Saako (ucapan bhs. Saako pada umumnya menghilangkan fonem : /I/ dalam Sa(l)ako). Nama ini selanjutnya digunakan untuk menyebut nama wilayah, nama sungai, nama suku, dan nama bahasa penduduk yang mendiaminya di pulau kalimantan ini.
Bersambung
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya